AL QUR'AN SEBAGAI SATU-SATUNYA PEDOMAN DALAM AGAMA ISLAM
PENDAHULUAN
Penulis
merasa terpanggil untuk membuat makalah khusus yang menegaskan bahwa
Allah menghendaki Al Qur’an sebagai satu-satunya pedoman dalam islam.
Meskipun sudah disinggung dalam beberapa makalah dalam blog ini, makalah
yang menegaskan hal ini tampaknya perlu dibuat untuk menghindari
kebingungan masyarakat. Kebingungan itu sering tercermin pada komentar
sejumlah orang di internet berkaitan dengan pertentangan antara isi
kitab hadis dan Al Qur’an. Al Qur’an terjemahan yang digunakan untuk
membahas adalah versi Dep. Agama RI dalam program komputer Al Qur’an
Digital versi 2.1.
AL QUR’AN SEBAGAI SATU-SATUNYA PEDOMAN DALAM ISLAM
Allah
menjelaskan bahwa hanya Al Qur’an dan kitab sebelumnya saja yang wajib
diimani oleh orang bertaqwa (2:4). Ayat 2:4 adalah kelanjutan dari ayat
2:2.
2:2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
2:3.
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat,
dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
2:4.
dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan
kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka
yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Jadi,
salah satu kriteria orang bertaqwa adalah beriman kepada Al Qur’an dan
kitab-kitab sebelumnya. Kemudian, Al Qur’an bersifat membenarkan
kitab-kitab sebelumnya (10:37) sehingga beriman kepada Al Qur’an saja
sudah cukup.
10:37.
Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al
Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan
hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya,
(diturunkan) dari Tuhan semesta alam.
Ayat
2:4 harus dipandang sebagai petunjuk yang wajib dijalankan. Dalam ayat
itu, Allah hanya memerintahkan kita untuk beriman kepada Al Qur’an saja.
Dengan kata lain, orang bertaqwa adalah orang yang beriman kepada Al
Qur’an saja.
Meskipun
uraian di atas sudah cukup untuk dijadikan pegangan bahwa Al Qur’an
adalah satu-satunya pedoman dalam islam, ada baiknya dilakukan
pembahasan lebih lanjut agar menjadi lebih jelas. Dalam Al Qur’an, Allah
dengan sangat jelas memerintahkan kepada manusia supaya menjadikan
kitab Allah sebagai alat untuk memutuskan perkara yang terjadi di antara
manusia. Perintah seperti itu diturunkan pada jaman Nabi Musa (5:44),
Nabi Isa (5:47), dan Nabi Muhammad (5:48 dan 5:49). Tampak di sini bahwa
semua informasi itu ada dalam satu surat, yaitu Al Maa’idah. Ini
menunjukkan penegasan Allah tentang penggunaan kitab Allah sebagai
pedoman dalam pemutusan suatu perkara di antara manusia.
5:44. Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara
orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh
orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka
diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya. Karena
itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku.
Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
5:47.
Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik.
5:48.
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
5:49.
dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika
mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah
kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Perintah penggunaan kitab Allah sebagai pedoman dalam memutuskan perkara di antara manusia juga dijumpai dalam 4:105.
4:105.
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,
Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa Al Qur’an merupakan satu-satunya pedoman dalam islam. Untuk menjelaskannya, kita perlu membahas tentang kata perkara.
Perkara pada dasarnya adalah masalah. Masalah dapat dinyatakan dengan
pertanyaan. Pertanyaan dapat diajukan oleh seseorang atau beberapa orang
yang terlibat dalam suatu masalah. Pertanyaan membutuhkan jawaban yang
benar. Jawaban yang benar ada di Al Qur’an. Atau, sesuatu yang sesuai dengan Al Qur’an adalah benar. Demikanlah kurang lebih alur pikirnya.
Jika
kita ingin menanyakan sesuatu tentang agama, kitab yang diperintahkan
untuk dijadikan pedoman untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah Al
Qur’an. Selain itu, aturan perundang-undangan dalam suatu negara juga
harus sesuai dengan Al Qur’an sehingga keputusan suatu perkara yang
dihasilkan secara tidak langsung sudah dibuat berdasarkan Al Qur’an.
Penulis
ingin menjelaskan lebih lanjut tentang hal di atas dengan contoh.
Misalnya, ada dua orang yang berbeda pendapat tentang waktu shalat.
Bagaimana cara memutuskan perkara tersebut? Menurut Allah, kita wajib
hanya menggunakan Al Qur’an saja sebagai pedoman untuk memutuskan
perkara itu. Jika kita menggunakan kitab hadis atau kitab selain Al
Qur’an lainnya, kita akan melanggar perintah Allah. Sekali lagi, kita
wajib hanya menggunakan Al Qur’an saja dalam memutuskan perkara
tersebut. Caranya, kita mengaji Al Qur’an tentang waktu shalat. Dalam
khasus contoh ini, waktu shalat yang sesuai dengan yang ada dalam Al
Qur’an adalah yang benar.
Alinea
di atas menunjukkan bahwa semua pertanyaan masalah agama harus dijawab
dengan Al Qur’an saja, sekali lagi, hanya Al Qur’an saja. Pertanyaan
tentang cara masuk islam, cara berpuasa, cara shalat, cara berjihad,
cara berwudlu, waktu shalat, cara bersedekah, cara masuk surga, nama
malaikat, keharaman, cara berpakaian, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya
wajib dijawab berdasarkan Al Qur’an saja. Oleh karena itu, menurut
Allah, satu-satunya pedoman dalam islam adalah Al Qur’an.
Sebagai
tambahan, dalam Al Qur’an diceritakan bahwa orang yang tidak beriman
kepada Al Qur’an karena disesatkan syaitan akan menyesal di akhirat
(25:29) dan Nabi Muhammad akan mengatakan bahwa mereka dahulu telah
mengabaikan Al Qur’an (25:30). Kedua ayat ini menegaskan bahwa Nabi
Muhammad mengingatkan agar kaumnya hanya mengimani Al Qur’an saja.
25:29.
Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran
itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong
manusia.
25:30. Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan."
KHARAKTERISTIK AL QUR’AN SEBAGAI SATU-SATUNYA PEDOMAN
Dalam
12:111 Allah menjelaskan bahwa Al Quran itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman.
12:111.
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman.
Selain
itu, Al Qur’an adalah benar dan adil, sempurna, rapi, rinci
penjelasannya, jelas ayatnya, dan tidak meragukan (6:115; 11:1; 2:99;
dan 2:2). Tidak ada yang bisa merubah kalimat-Nya dan Allah akan selalu
memelihara-Nya (6:115 dan 15;9).
6:115.
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar
dan adil. Tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan
Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
11:1.
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan
rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi
(Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,
2:99.
Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas;
dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik.
2:2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
15:9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya
Allah juga sudah memasukkan segala sesuatu yang harus dimasukkan kedalam Al Qur’an (6:38).
6:38.
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
Dapat disampaikan di sini bahwa Al Qur’an benar-benar kitab yang dijadikan sebagai pedoman dalam islam.
KITAB HADIS BUKAN PEDOMAN DALAM ISLAM
Kitab
hadis diyakini sebagian besar orang islam sebagai pedoman kedua setelah
Al Qur’an. Alasan mereka yang sederhana adalah bahwa beriman kepada Al
Qur’an adalah implementasi ketaatan kepada Allah sedangkan beriman
kepada kitab hadis adalah sebagai implementasi ketaatan kepada Rasul.
Benarkah demikian? Di sini, akan diuraikan bahwa penggunaan kitab hadis
tidak didukung oleh ayat-ayat Al Qur’an.
Kekeliruan Persepsi tentang Taat Kepada Rasul
Perintah agar taat kepada Rasul Allah ada di 4:80.
4:80.
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati
Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami
tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
Ayat
4:80 di atas memang menjelaskan bahwa kita wajib taat kepada Rasul.
Setiap orang akan membenarkan bahwa kita semua wajib taat kepada Rasul
Allah. Namun, kebanyakan orang beranggapan bahwa percaya atau beriman
kepada kitab hadis adalah sebagai implementasi perintah taat kepada
rasul. Di sinilah persoalannya.
Dalam
kitab hadis memang diceritakan tentang perkataan dan perbuatan Nabi.
Kalau kita membacanya, kita merasa seolah-olah yang berkata-kata atau
yang berbuat dalam kitab itu adalah seperti Nabi yang sebenarnya. Banyak
orang lupa bahwa semua isi kitab hadis ditentukan oleh penulisnya.
Banyak yang lupa bahwa untuk meyakini kebenaran kitab hadis kita harus
percaya kepada penulisnya. Adakah perintah Allah yang mengatakan bahwa
kita harus percaya kepada penulis kitab hadis? Tidak ada! Yang ada
adalah perintah untuk beriman kepada Rasul Allah (64:8). Taat kepada
Rasul Allah berarti kita beriman kepada Rasul Allah. Oleh karena penulis
kitab hadis adalah bukan Rasul Allah, kita tidak boleh percaya kepada
penulis kitab hadis dan kitab yang ditulisnya.
64:8. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al-Qur’an) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Nabi Muhammad tidak tahu-menahu tentang penulisan kitab hadis tersebut. Nabi juga tidak pernah membaca atau meng-edit kitab hadis. Semua isi kitab hadis bukan tanggungjawab Nabi Muhammad. Oleh karena itu, kita tidak boleh mempercayai kitab hadis.
Ayat
4:80 tidak dapat digunakan sebagai dasar penggunaan kitab hadis.
Justru, ayat 4:80 merupakan dasar untuk melarang penggunaan kitab hadis
karena kita hanya diperintahkan agar taat kepada Rasul Allah, bukan taat
kepada penulis kitab hadis. Yang terjadi sekarang ini adalah bahwa
banyak orang merasa taat kepada Rasul tetapi yang terjadi sesungguhnya
adalah taat kepada penulis kitab hadis.
Selain
itu, dalam 4:80 juga disebutkan bahwa taat kepada Rasul Allah pada
dasarnya sama dengan taat kepada Allah. Artinya, ajaran Allah dan ajaran
Rasul-Nya adalah sama persis yaitu berupa wahyu Allah yang ada dalam Al
Qur’an. Ini menegaskan bahwa Rasul Allah tidak membuat ajaran agama
sendiri. Jadi, ketaatan kepada Allah diimplementasikan dengan
menjalankan ajaran Allah dalam Al Qur’an. Demikian juga, ketaatan kepada
Nabi Muhammad diimplementasikan dengan menjalankan ajaran Allah dalam
Al Qur’an.
Pengutipan Ayat Yang Tidak Lengkap
Ada
kutipan ayat Al Qur’an yang dikutip secara tidak utuh dan dijadikan
sebagai dalil penggunaan kitab hadis oleh sekelompok orang. Kutipan
secara tidak lengkap yang dimaksud adalah kutipan ayat 59:7 yaitu :
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Berdasarkan kutipan tidak lengkap inilah mereka beranggapan bahwa semua yang diberikan diartikan sebagai semua hal yang diberikan Nabi sedangkan yang dilarangnya diartikan sebagai semua hal yang dilarang Nabi.
Padahal, ayat 59:7 yang utuh menerangkan tentang pembagian harta rampasan.
59:7.
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah
untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya.
Seharusnya, Apa yang diberikan Rasul kepadamu diartikan sebagai harta rampasan yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Di sisi lain, Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah seharusnya diartikan sebagai Dan harta rampasan yang Rasul melarang mengambilnya, maka tinggalkanlah. Jadi, pengutipan ayat 59:7 secara tidak lengkap tersebut telah membelokkan arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, ayat 59:7 bukan pendukung penggunaan kitab hadis sebagai pedoman kedua dalam beragama islam.
Seharusnya
pengutipan ayat Al Qur’an dilakukan secara lengkap agar penafsirannya
menjadi benar. Dan perlu diingat bahwa pengutipan secara tidak lengkap
dengan maksud untuk menyembunyikan keterangan-keterangan dan petunjuk
dalam Al Kitab adalah dosa dan pelakunya dila’nati Allah dan semua yang
dapat mela’nati (2:159).
2:159.
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati
Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati,
Keteladanan
Keteladanan Nabi Muhammad disebutkan dalam 33:21.
33:21.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Keteladanan
dalam ayat tersebut tidak boleh diartikan bahwa Allah memberikan ajaran
atau petunjuk kepada manusia dengan metode keteladanan. Kita tidak
boleh beranggapan bahwa semua perbuatan dan perkataan Nabi adalah ajaran
Allah. Jika benar demikian, Nabi tentu tidak pernah berbuat kesalahan.
Akan tetapi, Nabi adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan
termasuk dalam hal agama. Dalam Al Qur’an, Nabi pernah ditegur Allah
karena melakukan kesalahan dalam beragama sebanyak dua kali. Kesalahan
pertama adalah ketika mengharamkan yang halal (66:1).
66:1.
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu;
kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Kesalahan
kedua adalah ketika mengabaikan orang buta yang ingin membersihkan
dirinya dan mendapatkan pengajaran dari Nabi (80:1 sampai 80:11).
80:1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
80:2. karena telah datang seorang buta kepadanya
80:3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
80:4. atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
80:5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup
80:6. maka kamu melayaninya.
80:7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
80:8. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
80:9. sedang ia takut kepada (Allah),
80:10. maka kamu mengabaikannya.
80:11. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,
Nabi juga pernah bertaubat atas dosa yang telah dilakukan dan Allah menerima taubat Nabi tersebut (9:117).
9:117.
Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin
dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah
hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima
taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
kepada mereka,
Kata
teladan (contoh) dalam ayat tadi bermakna bahwa Allah memerintahkan
kita untuk mencontoh Nabi sebagai manusia yang taat dalam mengamalkan
ajaran Allah. Semua ajaran Allah tertulis dalam Al Qur’an. Nabi Muhammad
dan umatnya mempunyai pedoman yang sama untuk diamalkan yaitu Al
Qur’an. Keteladanan yang dimaksud adalah dalam hal sikap untuk selalu
mengamalkan ajaran Allah dalam kehidupan. Nabi Muhammad merupakan
manusia yang wajib dicontoh dalam pengamalan ajaran Allah dalam Al
Qur’an.
Semasa
Nabi masih hidup, orang di sekitar Nabi dapat berinteraksi dengan Nabi
secara langsung sehingga mereka dapat mencontoh perilaku Nabi. Pada saat
itu Al Qur’an masih dalam proses penurunan sehingga dalam mempelajari
Al Qur’an orang masih sangat tergantung pada Nabi Muhammad. Oleh karena
itu, keteladanan Nabi pada saat itu sangat dibutuhkan.
Untuk
kondisi sekarang, kita dapat mencontoh Nabi dengan cara mengamalkan
ajaran Allah dalam Al Qur’an. Semua yang dilakukan Nabi berpedoman pada
Al Qur’an sehingga kalau kita mengamalkan Al Qur’an, kita dapat menjadi
orang yang berperilaku seperti Nabi dahulu. Pengamalan ajaran Allah
dalam Al Qur’an adalah bentuk nyata orang sekarang dalam meneladani Nabi
Muhammad. Jadi, ayat 33:21 bukan pendukung penggunaan kitab hadis.
Selain
itu, makna teladan tersebut adalah bahwa Nabi Muhammad pasti dapat
ditiru perbuatannya. Yang bisa dilakukan Nabi, pasti bisa dilakukan
manusia lainnya. Tidak mungkin Allah menunjuk teladan yang tidak bisa
ditiru oleh manusia lainnya. Tambahan, ayat 33:21 juga menegaskan bahwa
kita memang harus beriman pada Al Qur’an saja seperti yang dilakukan
Nabi Muhammad sebagai manusia teladan bagi kita.
Wahyu Allah
Ada
sekelompok orang yang beranggapan bahwa semua kata-kata yang keluar
dari mulut Nabi Muhammad adalah wahyu dari Allah. Landasasannya adalah
ayat 53:3 dan 53:4.
53:3. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
53:4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Atas dasar itu mereka beranggapan bahwa perkataan Nabi yang tertulis dalam kitab hadis adalah merupakan wahyu Allah. Kata Al Qur’an dalam tanda kurung dalam terjemahan di atas memang hanyalah interpretasi penerjemah. Apabila Al Qur’an kita hilangkan, interpretasinya tampak seperti membenarkan anggapan tersebut. Coba kita perhatikan terjemahan ayat itu setelah Al Qur’an dihilangkan.
53:3. dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
53:4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Akan
tetapi perlu diingat bahwa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad adalah
Al Qur’an (42:7). Tidak ada wahyu Allah yang diterima Nabi yang tidak
ditulis dalam Al Qur’an.
42:7.
Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Quran dalam bahasa Arab, supaya
kamu memberi peringatan kepada ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk
(negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula) tentang
hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan
masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.
Nabi
pasti menyampaikan semua wahyu yang diterimanya kepada seluruh manusia.
Nabi Muhammad mengetahui bahwa orang yang meyembunyikan wahyu dari
Allah akan mendapat la’nat Allah dan semua makhluk yang dapat
melaknatinya (2:159).
2:159.
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati
Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati,
Orang
yang beranggapan bahwa ada wahyu Allah yang tidak ditulis dalam Al
Qur’an secara tidak langsung telah menuduh Nabi Muhammad telah
menyembunyikan wahyu Allah yang diterimanya. Orang itu juga secara tidak
langsung telah menilai Nabi Muhammad tidak bisa menjalankan tugas
sebagai Rasul Allah karena ada wahyu yang tidak ditulis dalam Al Qur’an.
Jelaslah
bahwa ucapan Nabi dalam 53:3 dan 53:4 adalah wahyu berupa ayat-ayat Al
Qur’an yang diterimanya. Jadi, ayat 53:3 dan 53:4 bukan merupakan
pendukung penggunaan kitab hadis.
Al Hikmah dan As sunnah
As sunnah adalah semua informasi tentang Nabi Muhammad yang mencakup perkataan, perbuatan, taqrir,
tabiat, budi pekerti, dan perjalanan hidup selama hidupnya. Di sisi
lain, hadis adalah informasi tentang Nabi Muhammad yang mencakup
perkataan, perbuatan, dan taqrir. Yang disebut dalam hadis pasti merupakan as sunnah sedangkan yang disebut dalam as sunnah belum tentu hadis. Pengertian as sunnah dan hadis tersebut diambil dari makalah dalam http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/20.
Dalam Al Qur’an, kata as sunnah muncul dalam Al Qur’an terjemahan versi Depag. RI. Contoh ayat terjemahan yang menyebutkan as sunnah yaitu 2:129.
2:129.
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah)
serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi
Maha Bijaksana.
Penyebutan as sunnah
dalam kurung di situ adalah hasil penafsiran penerjemah. Penerjemah
tampaknya dipengaruhi oleh paham tertentu sehingga menambahkan as sunnah dalam kurung tersebut ke Al Qur’an terjemahan. Ayat-ayat lain yang diterjemahkan sedemikian rupa sehingga paham penggunaan as sunnah sebagai pedoman dapat tertampung dalam Al Qur’an terjemahan adalah 33:34; 2:231; 2:269; 62:2; dan 3:164.
Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah : ”Benarkah yang dimaksud hikmah oleh Allah dalam Al Qur’an adalah as sunnah?”
Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu membahas lebih dahulu tentang
pengertian hikmah menurut Al Qur’an. Ayat-ayat yang menjelaskan arti
hikmah adalah 10:1; 36:2; 43:4; dan 3:58 berikut ini.
10:1. Alif laam raa. Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah.
36:2. Demi Al Quran yang penuh hikmah,
43:4.
Dan sesungguhnya Al Quran itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di
sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak
mengandung hikmah.
3:58.
Demikianlah (kisah 'Isa), Kami membacakannya kepada kamu sebagian dari
bukti-bukti (kerasulannya) dan (membacakan) Al Quran yang penuh hikmah.
Berdasarkan
ayat-ayat di atas, Al Qur’an mengandung banyak hikmah. Dengan kata
lain, hikmah adalah isi Al Qur’an. Al Qur’an dapat dipandang sebagai
kitab tetapi dapat dipandang sebagai hikmah. Sebagai kitab, Al Qur’an
adalah tulisan-tulisan sebagai perwujudan wahyu Allah yang dapat dibaca
dan didengarkan jika dibaca dengan suara. Sebagai hikmah, Al Qur’an
adalah ajaran-ajaran Allah yang dapat dipikirkan dengan akal dan
dirasakan dengan hati.
Apakah
benar bahwa hikmah yang dimaksud adalah ajaran Allah? Jawabannya ada
pada surat 17. Ayat 17:39 menerangkan bahwa Allah telah menunjukkan
sebagian hikmah dalam Al Qur’an.
17:39.
Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. Dan janganlah
kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu
dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari
rahmat Allah).
Seperti
apakah sebagian hikmah yang dimaksud? Jawabannya dijumpai dalam surat
17 sebelum ayat 17:39. Beberapa ayat yang berisi contoh sebagian hikmah
secara berturut-turut adalah 17:34; 17:35;17:36:17:37; dan 17:38.
17:34.
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji;
sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
17:35.
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan
neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
17:36.
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya.
17:37.
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali
kamu tidak akan sampai setinggi gunung.
17:38. Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu.
Dari
surat 17:34 sampai 17:38 dapat kita ketahui bahwa semua ayat tersebut
berisi ajaran Allah yaitu perintah dan larangan Allah. Dan Allah
menegaskan bahwa semua itu hanyalah sebagian hikmah dari wahyu yang
diterima Nabi atau sebagian dari Al Qur’an. Jadi, hikmah yang
dimaksudkan dalam Al Qur’an adalah ajaran-ajaran Allah.
Bukti lain yang menguatkan bahwa hikmah adalah ajaran Allah adalah ayat 54:4 dan 54:5 berikut ini.
54:4. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran).
54:5. Itulah suatu hikmah yang sempurna maka peringatan-peringatan itu tidak berguna (bagi mereka).
Dalam
ayat 54:4 dan 54:5 tampak bahwa kisah-kisah yang terdahulu merupakan
suatu hikmah atau ajaran-ajaran Allah yang dapat mencegah manusia dari
kekafiran.
Dapat
disimpulkan di sini bahwa hikmah adalah ajaran-ajaran Allah yang ada
dalam Al Qur’an. Dengan demikian, Nabi diberi kitab berupa Al Qur’an
yang bentuk nyatanya adalah tulisan-tulisan dan diberi hikmah yang
bentuk nyatanya adalah ajaran-ajaran Allah.
Namun, pengertian hikmah tersebut telah disalahartikan menjadi sama dengan sunnah Nabi atau as sunnah.
Penyalahartian ini juga terlihat pada kata-kata dalam kurung berbunyi
”(sunnah nabimu”) dalam ayat 33:34 menurut Al Qur’an terjemahan versi
Departemen Agama RI.
33:34.
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha
Mengetahui.
Padahal, jika ayat 33:34 dibaca dengan pikiran yang jernih dan netral, pengertiannya sangat jelas. Yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah
adalah tulisan ayat dalam Al Qur’an karena yang dibacakan pasti
berbentuk tulisan atau kitab. Hikmah adalah isi ajaran-ajaran Allah yang
terkandung di dalamnya.
Oleh karena itu, penerjemahan Al Qur’an yang menyamakan Al Hikmah sama dengan as sunnah adalah keliru. Jadi, penggunaan as sunnah sebagai pedoman dalam islam tidak didukung oleh ayat-ayat Al Qur’an.
Yang Menjelaskan
Ternyata, banyak cara yang dibuat oleh orang-orang untuk membenarkan tindakan menggunakan kitab hadis. Mereka
berargumen bahwa Nabi Muhammad diberi tugas untuk menjelaskan Al
Qur’an. Argumen mereka berdasarkan pada ayat-ayat Al Qur’an terjemahan
berikut ini (15:89; 46:9; dan 67:26).
15:89. Dan katakanlah: "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan."
46:9.
Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan
aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula)
terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan
kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan."
67:26. Katakanlah: "Sesungguhnya ilmu (tentang hari kiamat itu) hanya pada sisi Allah. Dan sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan."
Ayat-ayat
terjemahan tersebut menumbuhkan kesan bahwa Nabi Muhammad seolah-olah
adalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan sesuatu. Oleh
sejumlah orang, sesuatu
yang dimaksud adalah Al Qur’an dan yang dianggap sebagai penjelasannya
adalah hadis. Atas dasar pemikiran seperti tersebut, mereka mengatakan
bahwa penggunaan kitab hadis sebagai pedoman dalam islam didukung oleh
ayat-ayat Al Qur’an.
Benarkah
anggapan mereka tersebut? Untuk menjawabnya, penulis akan
membandingkannya dengan Al Qur’an terjemahan bahasa Inggris per kata versi Dr. Shehnaz Shaikh dan Ms. Kausar Khatri. Berikut ini adalah terjemahan ayat-ayat tersebut.
15:89. And say, “Indeed, I am a clear warner.”
46:9.
Say, “I am not the first of the Messengers nor do I know what will be
done with me or with you. I only follow that which is revealed to me,
and I am not but a clear warner.”
67:26. Say, “The knowledge is only with Allah, and I am only a clear warner.”
Dalam terjemahan versi bahasa Inggris tersebut, Nabi Muhammad adalah seorang pemberi peringatan yang jelas (a clear warner). Yang jelas di sini berarti yang nyata atau yang tidak perlu diragukan lagi. Jadi, Nabi Muhammad bukan pemberi peringatan yang menjelaskan melainkan pemberi peringatan yang jelas. Dengan demikian, terjemahan versi Dep. Agama RI adalah keliru sehingga tidak dapat dijadikan dasar penggunaan kitab hadis.
Hukum Rasul
Dalam terjemahan 4:61 versi Dep. Agama RI terdapat istilah hukum rasul.
Istilah terebut perlu dicek kebenarannya karena istilah ini
berimplikasi bahwa Rasul Allah diberi wewenang untuk membuat hukum dalam
islam. Selanjutnya, orang akan menganggap bahwa hukum rasul yang
dimaksud adalah berupa kitab hadis.
4:61. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.
Untuk mengecek kebenaran terjemahan di atas, Al Qur’an terjemahan bahasa Inggris per kata versi Dr. Shehnaz Shaikh dan Ms. Kausar Khatri digunakan. Hasilnya adalah sbb.
4:61.
And when it is said to them, “Come to what Allah has revealed and to
the Messenger,” you see the hypocrites turning away from you in
aversion. (Dan ketika dikatakan kepada mereka, “Mendekatlah ke yang
Allah telah wahyukan dan ke Rasul Allah,” kamu lihat orang-orang munafik
menghindar dari kamu dalam keengganan.)
Terjemahan
di atas menerangkan bahwa orang-orang munafik diminta untuk mendekat ke
wahyu Allah dan mendekat ke Rasul Allah tetapi orang-orang munafik
tersebut tidak bersedia dengan cara menghindari Rasul Allah dengan
perasaan tidak suka. Terjemahan versi bahasa Inggris tersebut
menunjukkan bahwa tidak ada istilah hukum rasul. Jadi, ayat 4:61 tidak dapat dijadikan dalil penggunaan kitab hadis.
PESAING AL QUR’AN
Mungkin
banyak yang tidak menyadari bahwa Al Qur’an mempunyai pesaing. Pesaing
utamanya adalah kitab hadis. Gara-gara kitab hadis, waktu yang
seharusnya disisihkan untuk mengaji Al Qur’an menjadi berkurang. Selain
itu, orang akan beranggapan bahwa mempelajari kitab hadis sama dengan
mempelajari Al Qur’an. Tidak sedikit ceramah agama islam yang lebih
banyak mengutip isi kitab hadis dibanding Al Qur’an. Bahkan, ada
sejumlah orang yang lebih percaya pada kitab hadis daripada Al Qur’an.
Contohnya, mereka percaya pada hadis yang mengatakan bahwa bacaan
basmalah dalam Al Fatihah bukan bagian dari Al Qur’an meskipun tertulis
dengan jelas bahwa bacaan basmalah merupakan ayat pertama Al Fatihah.
Secara tidak langsung, penulis hadis telah dijadikan pesaing Nabi
Muhammad.
Pesaing
kedua adalah para ahli agama yang cenderung tidak mendorong masyarakat
untuk mengaji Al Qur’an yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
Seolah-olah mereka mengatakan bahwa masyarakat cukup bertanya atau
belajar kepada mereka dan tidak perlu membaca Al Qur’an sendiri.
Seolah-olah mereka mengatakan bahwa Al Qur’an bukan bacaan sembarang
orang sehingga hanya mereka saja yang dapat menguasai Al Qur’an.
Seolah-olah mereka mengatakan bahwa bertanya kepada mereka sama saja
dengan membaca Al Qur’an. Bahkan, kadang-kadang ada yang mengeluarkan
fatwa yang hanya menjadi wewenang Allah. Kesan yang timbul dari
penampilan, sikap, dan cara menjawab adalah bahwa mereka seolah-olah
dapat dijadikan pengganti Al Qur’an. Mengapa masyarakat tidak didorong
untuk membaca Al Qur’an sendiri? Bukankah Allah telah memerintahkan
untuk membaca sejak ayat pertama diturunkan (96:1)?
96:1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
Di
samping itu, kita semua sudah mengetahui bahwa Allah tidak berkenan
jika disekutukan. Apakah orang tidak takut apabila Allah marah karena Al
Qur’an telah disaingi? Yang jelas, Allah tidak berkenan jika Al Qur’an
dianggap remeh (56:81).
56:81. Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al-Quran ini?
PENUTUP
Al
Qur’an adalah satu-satunya pedoman dalam agama yang dibawa Nabi
Muhammad. Masyarakat yang ingin mengetahui atau mempelajari islam harus
mempelajari satu kitab saja, yaitu Al Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar