KESAHIHAN DALIL TAHLILAN DAN TAHLILAN ADA SEJAK JAMAN SAHABAT
Salam Aswajah !
Tahlilan
Tahlilan bukanlah sebuah kewajiban, jika ditinggalkan berdosa atau
bukanlah perkara yang diwajibkanNya atau ditetapkanNya atau bukanlah
perkara syariat, syarat sebagai hamba Allah.
Jika berkeyakinan
bahwa tahlilan adalah sebuah kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa
maka keyakinan seperti itu termasuk bid’ah dholalah karena yang
mengetahui atau menetapkan sesuatu perkara atau perbuatan ditinggalkan
berdosa (kewajiban) atau dikerjakan / dilanggar berdosa
(larangan/pengharaman) hanyalah Allah ta’ala
Firman Allah Azza wa
Jalla yang artinya, “Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan
perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa
rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal
yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan
dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan
sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan
atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS
al-A’raf: 32-33)
Tahlilan adalah amal kebaikan, perkara diluar apa yang diwajibkanNya dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Tahlilan adalah sedekah atas nama ahli kubur yang diselenggarakan oleh
keluarga ahli kubur sedangkan peserta tahlilan bersedekah diniatkan
untuk ahli kubur dengan tasbih, takbir, tahmid, tahlil, pembacaan surah
Yasiin, Al Fatihah, dzikir dan doa
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam telah menyampaikan bahwa kita boleh bersedekah atas nama orang
yang telah meninggal dunia
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ
حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا
لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
تَصَدَّقْ عَنْهَا
Telah bercerita kepada kami Isma’il berkata
telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari
‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah
meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat
berbicara dia akan bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas
namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqolah atasnya. (HR Muslim 2554)
Contoh sedekah oleh bukan keluarga
Pernah dicontohkan bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang
lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana
ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua
dinar. Ketika ia telah membayarnya Nabi bersabda: “Sekarang engkau telah
mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ
حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي
عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ
أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ
أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ
كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ
قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ
صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً
وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ
عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah
bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi
bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari
Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu
Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat
memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat,
puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka
beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara
kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah,
setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah
sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar
adalah sedekah (HR Muslim 1674)
Imam Syafi’i ra , ulama yang
telah diakui oleh jumhur ulama dari dahulu sampai sekarang berkompetensi
sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Ulama yang paling baik dalam memahami Al
Qur’an dan As Sunnah dan Beliau masih bertemu dengan para perawi hadits
atau Salafush Sholeh, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Nawawi
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمهُ اللَّه: ويُسْتَحَبُّ أنْ يُقرَأَ عِنْدَهُ
شيءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن عِنْدهُ كانَ حَسناً
“Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : disunnahkan agar membaca
sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya, dan apabila mereka mengkhatamkan
al-Qur’an disisi quburnya maka itu bagus” (Riyadlush Shalihin [1/295]
lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426] li-Imam Ibnu ‘Allan ;
al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i (Syarah Mukhtashar
Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya.
قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت
Imam Syafi’i mengatakan “aku menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an
disamping qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit” ( Ma’rifatus Sunani wal
Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi.)
Begitupula Imam Ahmad semula mengingkarinya karena atsar tentang hal itu tidak sampai kepadanya namun kemudian Imam Ahmad ruju’
قال الحافظ بعد تحريجه بسنده إلى البيهقى قال حدثنا أبو عبدالله الحافظ
قال حدثنا ابو العباس بن يعقوب قال حدثنا العباس بن محمد قال سألت يحي بن
معين عن القرأءة عند القبر فقال حدثنى مبشر بن أسماعيل الحلبي عن عبد
الرحمن بن اللجلاج عن أبيه قال لبنيه إذا أنا مت فضعونى فى قبرى وقولوا بسم
الله وعلى سنه رسول الله وسنوا على التراب سنا ثم إقرأوا عند رأسى أول
سوره البقرة وخاتمتها فإنى رأيت إبن عمر يستحب ذلك ,قال الحافظ بعد تخريجه
هذا موقوف حسن أخريجه أبو بكر الخلال وأخريجه من رواية أبى موسى الحداد
وكان صدوقا قال صلينا مع أحمد على جنازة فلما فرغ من ذفنه حبس رجل ضرير
يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا
قال له محمد بن قدامة يا أبا عبد الله ما تقول فى مبشر بن إسماعيل قال ثقة
قال كتبت عنه شيئا قال نعم قال إنه حدثنى عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه
أنه أوصى إذا دفن أن يقرؤا عند قبره فاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن
عمر يوصى بذلك قال فقال أحمد للرجل فليقرأ. اه
al-Hafidh (Ibnu
Hajar) berkata setelah mentakhrijnya dengan sanadnya kepada al-Baihaqi,
ia berkata ; telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah al-Hafidz, ia
berkata telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas bin Ya’qub, ia
berkata, telah menceritakan kepada kami al-‘Abbas bin Muhammad, ia
berkata, aku bertanya kepada Yahya bin Mu’in tentang pembacaan al-Qur’an
disamping qubur, maka ia berkata ; telah menceritakan kepadaku
Mubasysyir bin Isma’il al-Halabi dari ‘Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari
ayahnya, ia berkata kepada putranya, apabila aku telah wafat,
letakkanlah aku didalam kuburku, dan katakanlah oleh kalian “Bismillah
wa ‘alaa Sunnati Rasulillah”, kemudian gusurkan tanah diatasku dengan
perlahan, selanjutnya bacalah oleh kalian disini kepalaku awal surah
al-Baqarah dan mengkhatamkannya, karena sesungguhnya aku melihat Ibnu
‘Umar menganjurkan hal itu. Kemudian al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata
setelah mentakhrijnya, hadits ini mauquf yang hasan, Abu Bakar
al-Khallal telah mentakhrijnya dan ia juga mentakhrijnya dari Abu Musa
al-Haddad sedangkan ia orang yang sangat jujur.
Ia berkata : kami
shalat jenazah bersama bersama Ahmad, maka tatkala telah selesai
pemakamannya duduklah seorang laki-laki buta yang membaca al-Qur’an
disamping qubur, maka Ahmad berkata kepadanya ; “hei apa ini, sungguh
membaca al-Qur’an disamping qubur adalah bid’ah”. Maka tatkala kami
telah keluar, berkata Ibnu Qudamah kepada Ahmad : “wahai Abu Abdillah,
apa komentarmu tentang Mubasysyir bin Isma’il ? “, Ahmad berkata :
tsiqah, Ibnu Qudamah berkata : engkau menulis sesuatu darinya ?”, Ahmad
berkata : Iya. Ibnu Qudamah berkata : sesungguhnya ia telah menceritakan
kepadaku dari Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berpesan
apabila dimakamkan agar dibacakan pembukaan al-Baqarah dan
mengkhatamkannya disamping kuburnya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu
‘Umar berwasiat dengan hal itu, Maka Ahmad berkata kepada laki-laki itu
“lanjutkanlah bacaaanmu”.
Abdul Haq berkata : telah diriwayatkan
bahwa Abdullah bin ‘Umar –radliyallahu ‘anhumaa- memerintahkan agar
dibacakan surah al-Baqarah disisi quburnya dan diantara yang
meriwayatkan demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman
Tahlilan
hukum asalnya adalah boleh, menjadi makruh jika keluarga ahli kubur
merasa terbebani atau meratapi kematian, menjadi haram jika dibiayai
dari harta yang terlarang (haram), atau dari harta mayyit yang memiliki
tanggungan / hutang atau dari harta yang bisa menimbulkan bahaya
atasnya.
Tahlilan disyiarkan oleh para Wali Songo, Wali Allah
generasi ke sembilan dan kebetulan berjumlah sembilan orang. Salah
seorang Wali Songo, Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal Sunan Gunung
Jati adalah Wali Allah keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka
sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya
mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan
atau ke-riang-an lainnya.
Wali Songo mengajarkan nilai-nilai
Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang
telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu
berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.
Wali
Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat
dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada
mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian sekarang tidak dikenal
sebelum Wali Songo.
Disini tahlil muncul sebagai terobosan cerdik
dan solutif dalam merubah kebiasaan negatif masyarakat, solusi seperti
ini pula yang disebut sebagai kematangan sosial dan kedewasaan
intelektual sang da’i yaitu Walisongo. Kematangan sosial dan kedewasaan
intelektual yang benar-benar mampu menangkap teladan Nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wasallam dalam melakukan perubahan sosial bangsa Arab
jahiliyah. Dinamika pewahyuan Al-Quran pun sudah cukup memberikan
pembelajaran bahwa melakukan transformasi sosial sama sekali bukan
pekerjaan mudah, bukan pula proses yang bisa dilakukan secara instant.
Jadi acara kumpul di rumah ahli waris diisi dengan amal kebaikan berupa
pembacaan untaian doa, dzikir, pembacaan surat Yasiin dan tahlil.
Mereka yang melarang tahlilan dengan cara mengutip perkataan ulama
seperti Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi Asy Syafi’i Rahimahullah, beliau
berkata dalam I’anatuth Thalibin: نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند
أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر،
ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
Ya, apa yang
dilakukan manusia, yakni berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan
dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah, yang akan diberi pahala
bagi orang yang mencegahnya, dengannya Allah akan kukuhlah kaidah-kaidah
agama, dan dengannya dapat mendukung Islam dan muslimin.” (Imam Sayyid
Al Bakr Ad Dimyathi Asy Syafi’i, I’anatuth Thalibin, 2/165. Mawqi’
Ya’sub) sumber: http://ibnumaulay.multiply.com/journal/item/3
Berikut teks lengkapnya;
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من
الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام
دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص
أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف
بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف
التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو
أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع
هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير
البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب
على هذا المنع المذكور ؟
“Dan sungguh telah aku perhatikan mengeni
pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي
مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh Ahlu (keluarga) mayyit
perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban
mereka atas perkara tersebut.
Gambaran (penjelasan mengenai
keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitumengenai (bagaimana)
pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”,
(semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia
sepanjang masa) , tentang kebiasaan (‘urf) yang khusus di suatu negeri
bahwa jika ada yang meninggal , kemudian para pentakziyah hadir dari
yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka
(pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat
malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri
dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga
mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan
menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan.
Maka apakah
bila seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap
rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah)
permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali
berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia yang
Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga shalawat dan
salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk
keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan
(pelarangan itu) ?
أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور. (الحمد
لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم
بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند
أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر،
ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
“Penjelasan
sebagai jawaban terhadap apa yang telah di tanyakan,(الحمد لله وحده)
وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده, Ya ..
Allah aku memohon kepada-Mu supaya memberikan petunjuk kebenaran”.
“Iya.., apa yang dilakukan oleh manusia dari berkumpul ditempat ahlu
(keluarga) mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari bid’ah
munkarah, yang diberi pahala bagi yang mencegahnya dan menyuruhnya.
Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah agama dan mendorong Islam
serta umat Islam” Kitab I’anatuth Thalibin, Al-‘Allamah Asy-Syekh
Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy
Asy-Syafi’i.
Apa yang mereka kutipkan sebenarnya adalah jawaban
atas pertanyaan terhadap sikap pentakziyah yang menunggu disajikan
makanan sehingga keluarga ahli kubur menyediakan makanan dengan terpaksa
atau merasa terbebani.
Sedangkan keluarga ahli kubur yang
mengadakan tahlilan atau mengundang tahlilan, biasanya pada malam
harinya atau malam selanjutnya, pada umumnya mereka telah mempersiapkan
dan tidak merasa terbebani karena mereka meniatkannya sebagai amal
sedekah atau amal kebaikan atas nama ahli kubur.
Dapat juga kita temukan mereka melarang tahlilan dengan mengutip perkataan Imam Mazhab seperti
Pendapat Imam Asy Syafi’i berkata dalam Al Umm (I/318) ”Aku benci al
ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada
tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui
kesedihan.”
Makna sebenarnya ma’tam adalah perkumpulan ratapan dan tangisan.
Orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka maka mereka
membayar para “penangis” untuk meratap dirumah mereka, semacam adat
istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya yang bertugas dan
dibayar.
Perkumpulan ratapan dan tangisan yang tidak disukai
oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam Syafii mengetahui bahwa hal itu
buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan
menjerit-menjerit, tapi disebut perkumpulan duka, namun beliau tak
menjatuhkan hukum haram, akan tetapi makruh, karena ma’tam yg ada dimasa
beliau sudah jauh berbeda dg ma’tam yg dimasa Jahiliyah, karena jika
ma’tam yg dimasa jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan beliau melihat
dimasa beliau masih ada sisa sisa perkumpulan tangisan dirumah duka,
maka beliau memakruhkannya
Hal yang harus kita ingat bahwa
kalimat “benci/membenci” pada lafadh para muhadditsin yg dimaksud adalah
“Kariha/yakrahu/Karhan” yang berarti Makruh.
Makruh mempunyai
dua makna, yaitu :makna bahasa dan makna syariah. Makna makruh secara
bahasa adalah benci, Makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika
dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
Dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka
tak ada istilah kalimat benci, senang, ngga suka, hal itu tak ada dalam
fatwa hukum, namun yg ada adalah keputusan hukum, yaitu haram, makruh,
mubah, sunnah, wajib
Jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak
ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yg disampaikan, maka jelas sudah
makna ucapan imam syafi’i itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan haram
Jika mereka menetapkan hukum pastilah diikuti dengan dalil dari
Al-Qur’an maupun Hadits. Ke-makruh-an timbul jika ahli waris dapat
menimbulkan suasana hati yang disebut oleh Imam Asy Syafi’i sebagai
“memperbaharui kesedihan” atau kemungkinan timbul suasana hati yang
tidak ikhlas akan ketetapan Allah Azza wa Jalla terhadap ahli kubur.
Begitupula mereka melarang tahlilan dengan mengutip hasil muktamar I
Nahdlatul Ulama (NU) Keputusan masalah Dinniyah No. 18/13 Rabi’uts
Tasaani 1345 H / 21 Oktober 1926 Di Surabaya ******* awal kutipan ******
Tentang keluarga mayit menyediakan makan kepada pentakziah
Tanya:
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan
kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari
berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah
keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut? Jawab: Menyediakan makanan
pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh ,
apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari
tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
****** akhir kutipan *******
Jelas dalam keputusan tersebut bahwa hukumnya makruh dengan penjelasan
kemakruhan sebagaimana yang disampaikan di atas tetapi tidak
menghilangkan pahala sedekahnya Tanya jawab seputar tahlil dan sedekah
Tanya : Bolehkah sedekah dalam bentuk bacaan tahlil, surah al Fatihah,
surah Yaasin disedekahkan kepada saudara muslim lainnya yang masih hidup
maupun yang telah wafat ? Jawab : Kita boleh mensedekahkan sedekah
bentuk bacaan tahlil, surah al Fatihah, surah Yaasin kepada saudara
muslim lainnya yang masih hidup maupun yang telah wafat. Baik yang
mensedekahkan dan saudara muslimnya yang menerima sedekah sama-sama
menerima kebaikan (pahala).
Contohnya Kita dapat mensedekahkan
istighfar kepada saudara muslim lainnya baik yang masih hidup maupun
yang telah wafat “Astaghfirullahalazim li wali waa lidaiya wali jami il
muslimina wal muslimat wal mukminina wal mukminat al ahya immin hum wal
amwat” “Ampunilah aku ya Allah yang Maha Besar, kedua ibu bapaku, semua
muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat yang masih hidup dan yang
telah mati.” Kita dapat mensedekahkan bacaan Al Fatihah bagi kesembuhan
saudara muslim lainnya umumnya diawali dengan komando seperti “Marilah
kita bacakan Al Fatihah bagi kesembuhan si fulan” Sedekah bacaan surah
Al Fatihah yang dibacakan orang banyak menjadi milik si fulan dan amal
kebaikan yang menjadi miliknya dapat menolong kesembuhan. Hal ini
terjadi karena jalinan tali silaturrahmi.
Sholat jenazah yang
berisikan bacaan Al Fatihah, sholawat dan doa merupakan sedekah mereka
yang mensholatkan dan menjadi milik ahli kubur sebagai amal kebaikannya
tanpa mengurangi kebaikan bagi mereka yang mensholatkannya. Tanya: Kalau
memang boleh kita bersedekah dengan bacaan tahlil, surah al Fatihah,
surah Yaasin, dll bagaimana kaitannya dengan firmanNya yang berbunyi,
wa-an laysa lil-insaani illaa maa sa’aa, “dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS An Najm
[53]:39 Jawab: Ayat Al-Qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan
untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat Al Qur’an itu hanya
menafikan “kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah
Subhanahu wa ta’ala hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah
(orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri).
Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang
mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya kepada orang
lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya
sendiri.
(jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah
“lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”). Tanya: Apakah sampai
sedekah bacaan tahlil, surah al Fatihah, surah Yaasin kepada ahli kubur
sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Apabila salah
seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya
kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at baginya dan
anak sholeh yang selalu mendoakannya.” (HR Muslim 3084)
Jawab:
Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu , terputus amalnya
maknanya adalah setiap manusia setelah meninggal dunia maka kesempatan
beramalnya sudah terputus atau apapun yang mereka perbuat, seperti
penyesalan atau minta ampun mereka ketika mereka memasuki alam barzakh
tidak akan diperhitungkan lagi amalnya kecuali amal yang masih
diperhitungkan terus adalah apa yang dihasilkan dari amal yang mereka
perbuat ketika masih hidup seperti, 1. Sedekah jariyah 2. Ilmu yang
bermanfaat bagi dirinya dan yang disampaikan kepada orang lain 3.
Mendidik anak sehingga menjadi anak sholeh yang selalu mendoakannya
Hadits tersebut tidak dikatakan, “inqata’a intifa’uhu”, “terputus
keadaannya untuk memperoleh manfaat”. Adapun amal orang lain, maka itu
adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepada si
mayyit maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepada si
mayyit.
Tanya: Bukankah Imam Syafi’i ~rahimahullah berpendapat
bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada si mayyit Jawab: Latar belakang
Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa bacaan Al Qur’an tidak
sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya yang di masa itu jauh
hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar orang-orang agar jika ia
telah wafat mereka menghatamkan Al Qur’an berkali-kali dan pahalanya
untuknya, maka Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa pahala
bacaan Al Qur’an tidak bisa sampai kepada yang wafat.
Syarat
sampai pahala bacaan tergantung niat (hati) jika niat tidak lurus
seperti niat “jual-beli” maka pahala bacaan tidak akan sampai. Dituntut
keikhlasan bagi setiap yang bersedekah baik dalam bentuk harta maupun
dalam bentuk bacaan Al Qur’an.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda, “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia
memandang hati dan amalan kamu.” (HR Muslim 4651).
Begitupula ada
kita jumpai ahli waris memberikan amplop berisikan uang kepada seluruh
mereka yang hadir mensholatkan jenazah bagi ahli kubur, hal ini akan
merusak keikhlasan sedekah mereka yang mensholatkan jenazah.
Begitupula kebiasaan memberikan amplop (berisikan uang) kepada imam
sholat jenazah janganlah diniatkan karena dia mengimami sholat jenazah
namun diniatkan sebagai sedekah bagi mereka yang berjuang di jalan Allah
(fi Sabilillah).
Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mensyaratkan sampai pahala bacaan jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat berikut :
1. Pembacaan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), 2. Pembacanya
meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit 3. Pembacanya mendo’akannya
untuk mayyit.
Hal yang perlu kita ingat selalu adalah yang dapat
memahami dan menjelaskan perkataan Imam Mazhab yang empat adalah
pengikut Imam Mazhab yang empat bukan pengikut ulama Muhammad bin Abdul
Wahhab, pengikut ulama Ibnu Taimiyyah ataupun pengikut ulama Al Albani
dan lain-lainnya.Pengikut Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang
sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam
Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah
dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Imam An Nawawi adalah
ulama Syafi’iyah yang paling memahami perkataan Imam As Syafi’i dan
ulama-ulama madzhabnya sebagaimana disebut dalam Al Awaid Ad Diniyah
(hal. 55). Sehingga, jika ada seseorang menukil pendapat ulama As
Syafi’iyah dengan kesimpulan berbeda dengan pendapat Imam An Nawawi
tentang ulama itu maka pendapat itu tidak dipakai. Lebih-lebih yang
menyatakan adalah pihak yang tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah
dalam madzhab As Syafi’i.
Hal ini dijelaskan contohnya oleh
‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya
al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab :
أما القراءة فقال النووي في
شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض
أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات
من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ
لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي
الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه
وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض
“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam
an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni masyhur dari madzhab
asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit,
sedangkan sebagian ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok-kelompok
‘ulama berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit
seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa
yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila
pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya
untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam
as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala)
adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila
diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan
diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah
ar-Raudlah”. (Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya
al-Anshari asy-Syafi’i [2/23]).
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj :
قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له
“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila
pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak
meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak
mendo’akannya untuk mayyit” (Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj
lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].) Anjuran sedekah untuk yang telah
wafat
Dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن
القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى
قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو
نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل
حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان
الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
Artinya:
“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam
kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan
kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku
al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama
besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya
orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan
mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup
mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal
selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di
dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik,
telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah
menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin
al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil
berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang
meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7
hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan
makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari
tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة
فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف
الى الصدر الأول
ِArtinya:
“Sesungguhnya, kesunnahan
memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang
tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di
Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah
ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut
diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.
Sumber: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=203798782998090&set=a.203798676331434.52004.100001039095629
Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadits kenamaan mengatakan bahwa
beliau mendapatkan riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, yang mana beliau
meriwayatkan dari Al-Asyja’i, yang beliau sendiri mendengar dari Sofyan,
bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu ‘anhu pernah berkata :
إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام
“Sesungguhnya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat)
didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan)
agar memberikan makan (pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari
tersebut”.
Riwayat ini sebutkan oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal
didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) juga
menyebutkannya didalam Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyah.[2]
Sedangkan Thawus bin Kaisan al-Haulani al-Yamani adalah seorang tabi’in
(w. 106 H) ahli zuhud, salah satu Imam yang paling luas keilmuannya. [3]
Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubraa
dan Imam al-Hafidz as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawil lil-Fatawi
mengatakan bahwa dalam riwayat diatas mengandung pengertian bahwa kaum
Muslimin telah melakukannya pada masa Rasulullah, sedangkan Rasulullah
mengetahui dan taqrir terhadap perkara tersebut. Dikatakan (qil) juga
bahwa para sahabat melakukannya namun tidak sampai kepada Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam. Atas hal ini kemudian dikatakan bahwa
khabar ini berasal dari seluruh sahabat maka jadilah itu sebagai Ijma’,
dikatakan (qil) hanya sebagian shahabat saja, dan masyhur dimasa mereka
tanpa ada yang mengingkarinya. [4]
Ini merupakan anjuran
(kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang baru meninggal
selama dalam ujian didalam kuburnya dengan cara melakukan kenduri
shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini
telah dilakukan oleh para sahabat, difatwakan oleh mereka. Sedangkan
ulama telah berijma’ bahwa pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat
bagi mayyit.[5] Kegiatan semacam ini juga berlangsung pada masa
berikutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz
as-Suyuthiy ;
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7
hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini
berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan
Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak
masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi),
dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan
ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam
kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka
mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya
selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [6]
Shadaqah seperti
yang dilakukan diatas berlandaskan hadits Nabi yang banyak disebutkan
dalam berbagai riwayat. [7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari
Sayyidina Umar bin Khaththab, disebutkan dalam al-Mathalib al-‘Aliyah
(5/328) lil-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852) sebagai
berikut :
قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة
عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله
عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل
قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي
بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد
وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد
المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء
الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه
“Ahmad bin Mani’
berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan
kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari
al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu
‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah
pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa
yang maksud perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka
beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu ‘anh agar shalat bersama
manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar membuatkan makanan
untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah,
dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak mau memakannya
karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul
Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia
sungguh telah wafat .. (al-hadits),
[1] Lihat : Syarah ash-Shudur
bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur ; Syarah a-Suyuthi ‘alaa Shahih
Muslim, Hasyiyah as-Suyuthi ‘alaa Sunan an-Nasaa’i dan al-Hafi
lil-Fatawi lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi ; Lawami’ al-Anwar
al-Bahiyyah (2/9) lil-Imam Syamsuddin Muhammad as-Safarainy al-Hanbali
(w. 1188 H) ; Sairus Salafush Shalihin (1/827) lil-Imam Isma’il bin
Muhammad al-Ashbahani (w. 535 H) ; Imam al-Hafidz Hajar al-Asqalani (w.
852 H) didalam al-Mathalibul ‘Aliyah (834).
[2] Lihat : Hilyatul
Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’ lil-Imam Abu Nu’aim al-Ashbahaniy :
“menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, menceritakan kepada kami ayahku (Ahmad
bin Hanbal), menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan
kepada kami al-Asyja’iy, dari Sufyan, ia berkata : Thawus telah berkata :
“sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji oleh malaikat) didalam
kuburnya selama 7 hari, maka ‘mereka’ menganjurkan untuk melakukan
kenduri shadaqah makan yang pahalanya untuk mayyit selama 7 hari
tersebut”.
[3] Lihat : al-Wafi bil Wafiyaat (16/236) lil-Imam
ash-Shafadi (w. 764 H), disebutkan bahwa ‘Amru bin Dinar berkata : “aku
tidak pernah melihat yang seperti Thawus”. Dalam at-Thabaqat al-Kubra
li-Ibni Sa’ad (w. 230 H), Qays bin Sa’ad berkata ; “Thawus bagi kami
seperti Ibnu Siirin (sahabat) bagi kalian”.
[4] Lihat ; al-Fatawa
al-Fiqhiyyah al-Kubra (2/30-31) lil-Imam Syihabuddin Syaikhul Islam
Ibnu Hajar al-Haitami ; al-Hawi al-Fatawi (2/169) lil-Imam al-Hafidz
Jalaluddin as-Suyuthiy.
[5] Lihat : Syarah Shahih Muslim (3/444) li-Syaikhil Islam Muhyiddin an-Nawawi asy-Syafi’i.
[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.
— bersama SYeqh Muhyi, Raudhatus Shalihah ElBhry, Azhar Niam, dan 34 lainnya. https://www.facebook.com/photo.php?fbid=276224112515939&set=at.179509232187428.41600.100003850582784.100001104453827&type=1&theater
TAHLILAN ADA SEJAK JAMAN SAHABAT
=========================
Hukum Selamatan ke 3, 7, 40, 100, setahun, 1000 hari
----------------------------------------------------------------
Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari
diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan diambila dari kitab
“Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2
halaman 178 sebagai berikut:
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله
عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان
قال قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا
عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك
حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا
الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا
يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام Artinya: “Telah
berkata Imam
Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab
zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata:
Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH
berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun
110 H / 729 M):
Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan
mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka,
disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan
(sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari
tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab
Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah
menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan
kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah
menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah
berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan
mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka,
disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan
(sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari
tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة
فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف
الى الصدر الأول ِ
Artinya: “Sesungguhnya, kesunnahan memberikan
sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku
sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan
Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak
masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama
salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.
Tahlilan sampai
tujuh hari ternyata tradisi para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam dan para tabi’in Siapa bilang budaya berssedekah dengan
menghidangkan makanan selama mitung dino (tujuh hari) atau empat puluh
hari pasca kematian itu budaya hindu ? Di Indonesia ini banyak adat
istiadat orang kuno yang dilestarikan masyarakat. Semisal Megangan,
pelepasan anak ayam, siraman penganten, pitingan jodo, duduk-duduk di
rumah duka dan lainnya.
Akan tetapi bukan berarti setiap adat
istiadat atau tradisi orang kuno itu tidak boleh atau haram dilakukan
oleh seorang muslim. Dalam tulisan sebelumnya al-faqir telah menjelaskan
tentang budaya atau tradisi dalam kacamata Syare’at di ; http://warkopmbahlalar.com/2011/strategi-dakwah-wali-songo.html atau di ; http://www.facebook.com/groups/149284881788092/?id=234968483219731&ref=notif¬if_t=group_activity.
Tidak semua budaya itu lantas diharamkan, bahkan Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam sendiri mengadopsi tradisi puasa ‘Asyura yang
sebelumnya dilakukan oleh orang Yahudi yang memperingati hari
kemenangannya Nabi Musa dengan berpuasa. Syare’at telah memberikan
batasannya sebagaimana dijelaskan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat
ditanya tentang maksud kalimat “ Bergaullah kepada masyarakat dengan
perilaku yang baik “, maka beliau menjawab: “Yang dimaksud perkara yang
baik dalam hadits tersebut adalah : هو موافقة الناس في كل شيئ ما عدا
المعاصي “
Beradaptasi dengan masyarakat dalam segala hal selain
maksyiat “. Tradisi atau budaya yang diharamkan adalah yang menyalahi
aqidah dan amaliah syare’at atau hukum Islam. Telah banyak beredar dari
kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai
tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan
dan asumsi mereka ini? Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis
yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama
tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat
Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.
Perhatikan dalil-dalilnya berikut ini :
------------------------------------------
Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :
قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام “ Thowus berkata:
“Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan
mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah)
menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal
dunia pada hari-hari tersebut “. Sementara dalam riwayat lain : عن عبيد
بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق
فيفتن اربعين صباحا “
Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang
yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur.
Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan
seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “. Dalam menjelaskan dua
atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para
perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang
generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat
menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair
yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli
mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin
Khoththob Ra.
Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahkan menurut versi lain disebutkan
bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini
beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang
diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang
sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang
tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu
hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf
(riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw).
Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;
ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam
kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar
(bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah
meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw
telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw
sendiri.
(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat
puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in
dan sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahkan telah dilihat dan
diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.
(Ibnu Abdillah Al-Katibiy)
Kumpulan beberapa tulisan diharapkan ada manfa'atnya bagi kita semua,Amin
Semoga bermanfa'at
Allahumma soli'ala sayyidina Muhammad wa'ala alihi wa ashabihi ajama'in
Nassren Azbahu , Roesyid Diab, Ansoori Dahlan,Bubah Albustomi
Sabtu, 21 Juni 2014
AL QUR'AN SEBAGAI SATU-SATUNYA PEDOMAN DALAM AGAMA ISLAM
AL QUR'AN SEBAGAI SATU-SATUNYA PEDOMAN DALAM AGAMA ISLAM
PENDAHULUAN
Penulis
merasa terpanggil untuk membuat makalah khusus yang menegaskan bahwa
Allah menghendaki Al Qur’an sebagai satu-satunya pedoman dalam islam.
Meskipun sudah disinggung dalam beberapa makalah dalam blog ini, makalah
yang menegaskan hal ini tampaknya perlu dibuat untuk menghindari
kebingungan masyarakat. Kebingungan itu sering tercermin pada komentar
sejumlah orang di internet berkaitan dengan pertentangan antara isi
kitab hadis dan Al Qur’an. Al Qur’an terjemahan yang digunakan untuk
membahas adalah versi Dep. Agama RI dalam program komputer Al Qur’an
Digital versi 2.1.
AL QUR’AN SEBAGAI SATU-SATUNYA PEDOMAN DALAM ISLAM
Allah
menjelaskan bahwa hanya Al Qur’an dan kitab sebelumnya saja yang wajib
diimani oleh orang bertaqwa (2:4). Ayat 2:4 adalah kelanjutan dari ayat
2:2.
2:2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
2:3.
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat,
dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
2:4.
dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan
kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka
yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Jadi,
salah satu kriteria orang bertaqwa adalah beriman kepada Al Qur’an dan
kitab-kitab sebelumnya. Kemudian, Al Qur’an bersifat membenarkan
kitab-kitab sebelumnya (10:37) sehingga beriman kepada Al Qur’an saja
sudah cukup.
10:37.
Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al
Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan
hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya,
(diturunkan) dari Tuhan semesta alam.
Ayat
2:4 harus dipandang sebagai petunjuk yang wajib dijalankan. Dalam ayat
itu, Allah hanya memerintahkan kita untuk beriman kepada Al Qur’an saja.
Dengan kata lain, orang bertaqwa adalah orang yang beriman kepada Al
Qur’an saja.
Meskipun
uraian di atas sudah cukup untuk dijadikan pegangan bahwa Al Qur’an
adalah satu-satunya pedoman dalam islam, ada baiknya dilakukan
pembahasan lebih lanjut agar menjadi lebih jelas. Dalam Al Qur’an, Allah
dengan sangat jelas memerintahkan kepada manusia supaya menjadikan
kitab Allah sebagai alat untuk memutuskan perkara yang terjadi di antara
manusia. Perintah seperti itu diturunkan pada jaman Nabi Musa (5:44),
Nabi Isa (5:47), dan Nabi Muhammad (5:48 dan 5:49). Tampak di sini bahwa
semua informasi itu ada dalam satu surat, yaitu Al Maa’idah. Ini
menunjukkan penegasan Allah tentang penggunaan kitab Allah sebagai
pedoman dalam pemutusan suatu perkara di antara manusia.
5:44. Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara
orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh
orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka
diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya. Karena
itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku.
Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
5:47.
Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik.
5:48.
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
5:49.
dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika
mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah
kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Perintah penggunaan kitab Allah sebagai pedoman dalam memutuskan perkara di antara manusia juga dijumpai dalam 4:105.
4:105.
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,
Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa Al Qur’an merupakan satu-satunya pedoman dalam islam. Untuk menjelaskannya, kita perlu membahas tentang kata perkara.
Perkara pada dasarnya adalah masalah. Masalah dapat dinyatakan dengan
pertanyaan. Pertanyaan dapat diajukan oleh seseorang atau beberapa orang
yang terlibat dalam suatu masalah. Pertanyaan membutuhkan jawaban yang
benar. Jawaban yang benar ada di Al Qur’an. Atau, sesuatu yang sesuai dengan Al Qur’an adalah benar. Demikanlah kurang lebih alur pikirnya.
Jika
kita ingin menanyakan sesuatu tentang agama, kitab yang diperintahkan
untuk dijadikan pedoman untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah Al
Qur’an. Selain itu, aturan perundang-undangan dalam suatu negara juga
harus sesuai dengan Al Qur’an sehingga keputusan suatu perkara yang
dihasilkan secara tidak langsung sudah dibuat berdasarkan Al Qur’an.
Penulis
ingin menjelaskan lebih lanjut tentang hal di atas dengan contoh.
Misalnya, ada dua orang yang berbeda pendapat tentang waktu shalat.
Bagaimana cara memutuskan perkara tersebut? Menurut Allah, kita wajib
hanya menggunakan Al Qur’an saja sebagai pedoman untuk memutuskan
perkara itu. Jika kita menggunakan kitab hadis atau kitab selain Al
Qur’an lainnya, kita akan melanggar perintah Allah. Sekali lagi, kita
wajib hanya menggunakan Al Qur’an saja dalam memutuskan perkara
tersebut. Caranya, kita mengaji Al Qur’an tentang waktu shalat. Dalam
khasus contoh ini, waktu shalat yang sesuai dengan yang ada dalam Al
Qur’an adalah yang benar.
Alinea
di atas menunjukkan bahwa semua pertanyaan masalah agama harus dijawab
dengan Al Qur’an saja, sekali lagi, hanya Al Qur’an saja. Pertanyaan
tentang cara masuk islam, cara berpuasa, cara shalat, cara berjihad,
cara berwudlu, waktu shalat, cara bersedekah, cara masuk surga, nama
malaikat, keharaman, cara berpakaian, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya
wajib dijawab berdasarkan Al Qur’an saja. Oleh karena itu, menurut
Allah, satu-satunya pedoman dalam islam adalah Al Qur’an.
Sebagai
tambahan, dalam Al Qur’an diceritakan bahwa orang yang tidak beriman
kepada Al Qur’an karena disesatkan syaitan akan menyesal di akhirat
(25:29) dan Nabi Muhammad akan mengatakan bahwa mereka dahulu telah
mengabaikan Al Qur’an (25:30). Kedua ayat ini menegaskan bahwa Nabi
Muhammad mengingatkan agar kaumnya hanya mengimani Al Qur’an saja.
25:29.
Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran
itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong
manusia.
25:30. Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan."
KHARAKTERISTIK AL QUR’AN SEBAGAI SATU-SATUNYA PEDOMAN
Dalam
12:111 Allah menjelaskan bahwa Al Quran itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman.
12:111.
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman.
Selain
itu, Al Qur’an adalah benar dan adil, sempurna, rapi, rinci
penjelasannya, jelas ayatnya, dan tidak meragukan (6:115; 11:1; 2:99;
dan 2:2). Tidak ada yang bisa merubah kalimat-Nya dan Allah akan selalu
memelihara-Nya (6:115 dan 15;9).
6:115.
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar
dan adil. Tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan
Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
11:1.
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan
rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi
(Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,
2:99.
Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas;
dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik.
2:2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
15:9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya
Allah juga sudah memasukkan segala sesuatu yang harus dimasukkan kedalam Al Qur’an (6:38).
6:38.
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
Dapat disampaikan di sini bahwa Al Qur’an benar-benar kitab yang dijadikan sebagai pedoman dalam islam.
KITAB HADIS BUKAN PEDOMAN DALAM ISLAM
Kitab
hadis diyakini sebagian besar orang islam sebagai pedoman kedua setelah
Al Qur’an. Alasan mereka yang sederhana adalah bahwa beriman kepada Al
Qur’an adalah implementasi ketaatan kepada Allah sedangkan beriman
kepada kitab hadis adalah sebagai implementasi ketaatan kepada Rasul.
Benarkah demikian? Di sini, akan diuraikan bahwa penggunaan kitab hadis
tidak didukung oleh ayat-ayat Al Qur’an.
Kekeliruan Persepsi tentang Taat Kepada Rasul
Perintah agar taat kepada Rasul Allah ada di 4:80.
4:80.
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati
Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami
tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
Ayat
4:80 di atas memang menjelaskan bahwa kita wajib taat kepada Rasul.
Setiap orang akan membenarkan bahwa kita semua wajib taat kepada Rasul
Allah. Namun, kebanyakan orang beranggapan bahwa percaya atau beriman
kepada kitab hadis adalah sebagai implementasi perintah taat kepada
rasul. Di sinilah persoalannya.
Dalam
kitab hadis memang diceritakan tentang perkataan dan perbuatan Nabi.
Kalau kita membacanya, kita merasa seolah-olah yang berkata-kata atau
yang berbuat dalam kitab itu adalah seperti Nabi yang sebenarnya. Banyak
orang lupa bahwa semua isi kitab hadis ditentukan oleh penulisnya.
Banyak yang lupa bahwa untuk meyakini kebenaran kitab hadis kita harus
percaya kepada penulisnya. Adakah perintah Allah yang mengatakan bahwa
kita harus percaya kepada penulis kitab hadis? Tidak ada! Yang ada
adalah perintah untuk beriman kepada Rasul Allah (64:8). Taat kepada
Rasul Allah berarti kita beriman kepada Rasul Allah. Oleh karena penulis
kitab hadis adalah bukan Rasul Allah, kita tidak boleh percaya kepada
penulis kitab hadis dan kitab yang ditulisnya.
64:8. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al-Qur’an) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Nabi Muhammad tidak tahu-menahu tentang penulisan kitab hadis tersebut. Nabi juga tidak pernah membaca atau meng-edit kitab hadis. Semua isi kitab hadis bukan tanggungjawab Nabi Muhammad. Oleh karena itu, kita tidak boleh mempercayai kitab hadis.
Ayat
4:80 tidak dapat digunakan sebagai dasar penggunaan kitab hadis.
Justru, ayat 4:80 merupakan dasar untuk melarang penggunaan kitab hadis
karena kita hanya diperintahkan agar taat kepada Rasul Allah, bukan taat
kepada penulis kitab hadis. Yang terjadi sekarang ini adalah bahwa
banyak orang merasa taat kepada Rasul tetapi yang terjadi sesungguhnya
adalah taat kepada penulis kitab hadis.
Selain
itu, dalam 4:80 juga disebutkan bahwa taat kepada Rasul Allah pada
dasarnya sama dengan taat kepada Allah. Artinya, ajaran Allah dan ajaran
Rasul-Nya adalah sama persis yaitu berupa wahyu Allah yang ada dalam Al
Qur’an. Ini menegaskan bahwa Rasul Allah tidak membuat ajaran agama
sendiri. Jadi, ketaatan kepada Allah diimplementasikan dengan
menjalankan ajaran Allah dalam Al Qur’an. Demikian juga, ketaatan kepada
Nabi Muhammad diimplementasikan dengan menjalankan ajaran Allah dalam
Al Qur’an.
Pengutipan Ayat Yang Tidak Lengkap
Ada
kutipan ayat Al Qur’an yang dikutip secara tidak utuh dan dijadikan
sebagai dalil penggunaan kitab hadis oleh sekelompok orang. Kutipan
secara tidak lengkap yang dimaksud adalah kutipan ayat 59:7 yaitu :
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Berdasarkan kutipan tidak lengkap inilah mereka beranggapan bahwa semua yang diberikan diartikan sebagai semua hal yang diberikan Nabi sedangkan yang dilarangnya diartikan sebagai semua hal yang dilarang Nabi.
Padahal, ayat 59:7 yang utuh menerangkan tentang pembagian harta rampasan.
59:7.
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah
untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya.
Seharusnya, Apa yang diberikan Rasul kepadamu diartikan sebagai harta rampasan yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Di sisi lain, Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah seharusnya diartikan sebagai Dan harta rampasan yang Rasul melarang mengambilnya, maka tinggalkanlah. Jadi, pengutipan ayat 59:7 secara tidak lengkap tersebut telah membelokkan arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, ayat 59:7 bukan pendukung penggunaan kitab hadis sebagai pedoman kedua dalam beragama islam.
Seharusnya
pengutipan ayat Al Qur’an dilakukan secara lengkap agar penafsirannya
menjadi benar. Dan perlu diingat bahwa pengutipan secara tidak lengkap
dengan maksud untuk menyembunyikan keterangan-keterangan dan petunjuk
dalam Al Kitab adalah dosa dan pelakunya dila’nati Allah dan semua yang
dapat mela’nati (2:159).
2:159.
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati
Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati,
Keteladanan
Keteladanan Nabi Muhammad disebutkan dalam 33:21.
33:21.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Keteladanan
dalam ayat tersebut tidak boleh diartikan bahwa Allah memberikan ajaran
atau petunjuk kepada manusia dengan metode keteladanan. Kita tidak
boleh beranggapan bahwa semua perbuatan dan perkataan Nabi adalah ajaran
Allah. Jika benar demikian, Nabi tentu tidak pernah berbuat kesalahan.
Akan tetapi, Nabi adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan
termasuk dalam hal agama. Dalam Al Qur’an, Nabi pernah ditegur Allah
karena melakukan kesalahan dalam beragama sebanyak dua kali. Kesalahan
pertama adalah ketika mengharamkan yang halal (66:1).
66:1.
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu;
kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Kesalahan
kedua adalah ketika mengabaikan orang buta yang ingin membersihkan
dirinya dan mendapatkan pengajaran dari Nabi (80:1 sampai 80:11).
80:1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
80:2. karena telah datang seorang buta kepadanya
80:3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
80:4. atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
80:5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup
80:6. maka kamu melayaninya.
80:7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
80:8. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
80:9. sedang ia takut kepada (Allah),
80:10. maka kamu mengabaikannya.
80:11. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,
Nabi juga pernah bertaubat atas dosa yang telah dilakukan dan Allah menerima taubat Nabi tersebut (9:117).
9:117.
Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin
dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah
hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima
taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
kepada mereka,
Kata
teladan (contoh) dalam ayat tadi bermakna bahwa Allah memerintahkan
kita untuk mencontoh Nabi sebagai manusia yang taat dalam mengamalkan
ajaran Allah. Semua ajaran Allah tertulis dalam Al Qur’an. Nabi Muhammad
dan umatnya mempunyai pedoman yang sama untuk diamalkan yaitu Al
Qur’an. Keteladanan yang dimaksud adalah dalam hal sikap untuk selalu
mengamalkan ajaran Allah dalam kehidupan. Nabi Muhammad merupakan
manusia yang wajib dicontoh dalam pengamalan ajaran Allah dalam Al
Qur’an.
Semasa
Nabi masih hidup, orang di sekitar Nabi dapat berinteraksi dengan Nabi
secara langsung sehingga mereka dapat mencontoh perilaku Nabi. Pada saat
itu Al Qur’an masih dalam proses penurunan sehingga dalam mempelajari
Al Qur’an orang masih sangat tergantung pada Nabi Muhammad. Oleh karena
itu, keteladanan Nabi pada saat itu sangat dibutuhkan.
Untuk
kondisi sekarang, kita dapat mencontoh Nabi dengan cara mengamalkan
ajaran Allah dalam Al Qur’an. Semua yang dilakukan Nabi berpedoman pada
Al Qur’an sehingga kalau kita mengamalkan Al Qur’an, kita dapat menjadi
orang yang berperilaku seperti Nabi dahulu. Pengamalan ajaran Allah
dalam Al Qur’an adalah bentuk nyata orang sekarang dalam meneladani Nabi
Muhammad. Jadi, ayat 33:21 bukan pendukung penggunaan kitab hadis.
Selain
itu, makna teladan tersebut adalah bahwa Nabi Muhammad pasti dapat
ditiru perbuatannya. Yang bisa dilakukan Nabi, pasti bisa dilakukan
manusia lainnya. Tidak mungkin Allah menunjuk teladan yang tidak bisa
ditiru oleh manusia lainnya. Tambahan, ayat 33:21 juga menegaskan bahwa
kita memang harus beriman pada Al Qur’an saja seperti yang dilakukan
Nabi Muhammad sebagai manusia teladan bagi kita.
Wahyu Allah
Ada
sekelompok orang yang beranggapan bahwa semua kata-kata yang keluar
dari mulut Nabi Muhammad adalah wahyu dari Allah. Landasasannya adalah
ayat 53:3 dan 53:4.
53:3. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
53:4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Atas dasar itu mereka beranggapan bahwa perkataan Nabi yang tertulis dalam kitab hadis adalah merupakan wahyu Allah. Kata Al Qur’an dalam tanda kurung dalam terjemahan di atas memang hanyalah interpretasi penerjemah. Apabila Al Qur’an kita hilangkan, interpretasinya tampak seperti membenarkan anggapan tersebut. Coba kita perhatikan terjemahan ayat itu setelah Al Qur’an dihilangkan.
53:3. dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
53:4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Akan
tetapi perlu diingat bahwa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad adalah
Al Qur’an (42:7). Tidak ada wahyu Allah yang diterima Nabi yang tidak
ditulis dalam Al Qur’an.
42:7.
Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Quran dalam bahasa Arab, supaya
kamu memberi peringatan kepada ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk
(negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula) tentang
hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan
masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.
Nabi
pasti menyampaikan semua wahyu yang diterimanya kepada seluruh manusia.
Nabi Muhammad mengetahui bahwa orang yang meyembunyikan wahyu dari
Allah akan mendapat la’nat Allah dan semua makhluk yang dapat
melaknatinya (2:159).
2:159.
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati
Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati,
Orang
yang beranggapan bahwa ada wahyu Allah yang tidak ditulis dalam Al
Qur’an secara tidak langsung telah menuduh Nabi Muhammad telah
menyembunyikan wahyu Allah yang diterimanya. Orang itu juga secara tidak
langsung telah menilai Nabi Muhammad tidak bisa menjalankan tugas
sebagai Rasul Allah karena ada wahyu yang tidak ditulis dalam Al Qur’an.
Jelaslah
bahwa ucapan Nabi dalam 53:3 dan 53:4 adalah wahyu berupa ayat-ayat Al
Qur’an yang diterimanya. Jadi, ayat 53:3 dan 53:4 bukan merupakan
pendukung penggunaan kitab hadis.
Al Hikmah dan As sunnah
As sunnah adalah semua informasi tentang Nabi Muhammad yang mencakup perkataan, perbuatan, taqrir,
tabiat, budi pekerti, dan perjalanan hidup selama hidupnya. Di sisi
lain, hadis adalah informasi tentang Nabi Muhammad yang mencakup
perkataan, perbuatan, dan taqrir. Yang disebut dalam hadis pasti merupakan as sunnah sedangkan yang disebut dalam as sunnah belum tentu hadis. Pengertian as sunnah dan hadis tersebut diambil dari makalah dalam http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/20.
Dalam Al Qur’an, kata as sunnah muncul dalam Al Qur’an terjemahan versi Depag. RI. Contoh ayat terjemahan yang menyebutkan as sunnah yaitu 2:129.
2:129.
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah)
serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi
Maha Bijaksana.
Penyebutan as sunnah
dalam kurung di situ adalah hasil penafsiran penerjemah. Penerjemah
tampaknya dipengaruhi oleh paham tertentu sehingga menambahkan as sunnah dalam kurung tersebut ke Al Qur’an terjemahan. Ayat-ayat lain yang diterjemahkan sedemikian rupa sehingga paham penggunaan as sunnah sebagai pedoman dapat tertampung dalam Al Qur’an terjemahan adalah 33:34; 2:231; 2:269; 62:2; dan 3:164.
Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah : ”Benarkah yang dimaksud hikmah oleh Allah dalam Al Qur’an adalah as sunnah?”
Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu membahas lebih dahulu tentang
pengertian hikmah menurut Al Qur’an. Ayat-ayat yang menjelaskan arti
hikmah adalah 10:1; 36:2; 43:4; dan 3:58 berikut ini.
10:1. Alif laam raa. Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah.
36:2. Demi Al Quran yang penuh hikmah,
43:4.
Dan sesungguhnya Al Quran itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di
sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak
mengandung hikmah.
3:58.
Demikianlah (kisah 'Isa), Kami membacakannya kepada kamu sebagian dari
bukti-bukti (kerasulannya) dan (membacakan) Al Quran yang penuh hikmah.
Berdasarkan
ayat-ayat di atas, Al Qur’an mengandung banyak hikmah. Dengan kata
lain, hikmah adalah isi Al Qur’an. Al Qur’an dapat dipandang sebagai
kitab tetapi dapat dipandang sebagai hikmah. Sebagai kitab, Al Qur’an
adalah tulisan-tulisan sebagai perwujudan wahyu Allah yang dapat dibaca
dan didengarkan jika dibaca dengan suara. Sebagai hikmah, Al Qur’an
adalah ajaran-ajaran Allah yang dapat dipikirkan dengan akal dan
dirasakan dengan hati.
Apakah
benar bahwa hikmah yang dimaksud adalah ajaran Allah? Jawabannya ada
pada surat 17. Ayat 17:39 menerangkan bahwa Allah telah menunjukkan
sebagian hikmah dalam Al Qur’an.
17:39.
Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. Dan janganlah
kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu
dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari
rahmat Allah).
Seperti
apakah sebagian hikmah yang dimaksud? Jawabannya dijumpai dalam surat
17 sebelum ayat 17:39. Beberapa ayat yang berisi contoh sebagian hikmah
secara berturut-turut adalah 17:34; 17:35;17:36:17:37; dan 17:38.
17:34.
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji;
sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
17:35.
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan
neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
17:36.
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya.
17:37.
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali
kamu tidak akan sampai setinggi gunung.
17:38. Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu.
Dari
surat 17:34 sampai 17:38 dapat kita ketahui bahwa semua ayat tersebut
berisi ajaran Allah yaitu perintah dan larangan Allah. Dan Allah
menegaskan bahwa semua itu hanyalah sebagian hikmah dari wahyu yang
diterima Nabi atau sebagian dari Al Qur’an. Jadi, hikmah yang
dimaksudkan dalam Al Qur’an adalah ajaran-ajaran Allah.
Bukti lain yang menguatkan bahwa hikmah adalah ajaran Allah adalah ayat 54:4 dan 54:5 berikut ini.
54:4. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran).
54:5. Itulah suatu hikmah yang sempurna maka peringatan-peringatan itu tidak berguna (bagi mereka).
Dalam
ayat 54:4 dan 54:5 tampak bahwa kisah-kisah yang terdahulu merupakan
suatu hikmah atau ajaran-ajaran Allah yang dapat mencegah manusia dari
kekafiran.
Dapat
disimpulkan di sini bahwa hikmah adalah ajaran-ajaran Allah yang ada
dalam Al Qur’an. Dengan demikian, Nabi diberi kitab berupa Al Qur’an
yang bentuk nyatanya adalah tulisan-tulisan dan diberi hikmah yang
bentuk nyatanya adalah ajaran-ajaran Allah.
Namun, pengertian hikmah tersebut telah disalahartikan menjadi sama dengan sunnah Nabi atau as sunnah.
Penyalahartian ini juga terlihat pada kata-kata dalam kurung berbunyi
”(sunnah nabimu”) dalam ayat 33:34 menurut Al Qur’an terjemahan versi
Departemen Agama RI.
33:34.
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha
Mengetahui.
Padahal, jika ayat 33:34 dibaca dengan pikiran yang jernih dan netral, pengertiannya sangat jelas. Yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah
adalah tulisan ayat dalam Al Qur’an karena yang dibacakan pasti
berbentuk tulisan atau kitab. Hikmah adalah isi ajaran-ajaran Allah yang
terkandung di dalamnya.
Oleh karena itu, penerjemahan Al Qur’an yang menyamakan Al Hikmah sama dengan as sunnah adalah keliru. Jadi, penggunaan as sunnah sebagai pedoman dalam islam tidak didukung oleh ayat-ayat Al Qur’an.
Yang Menjelaskan
Ternyata, banyak cara yang dibuat oleh orang-orang untuk membenarkan tindakan menggunakan kitab hadis. Mereka
berargumen bahwa Nabi Muhammad diberi tugas untuk menjelaskan Al
Qur’an. Argumen mereka berdasarkan pada ayat-ayat Al Qur’an terjemahan
berikut ini (15:89; 46:9; dan 67:26).
15:89. Dan katakanlah: "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan."
46:9.
Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan
aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula)
terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan
kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan."
67:26. Katakanlah: "Sesungguhnya ilmu (tentang hari kiamat itu) hanya pada sisi Allah. Dan sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan."
Ayat-ayat
terjemahan tersebut menumbuhkan kesan bahwa Nabi Muhammad seolah-olah
adalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan sesuatu. Oleh
sejumlah orang, sesuatu
yang dimaksud adalah Al Qur’an dan yang dianggap sebagai penjelasannya
adalah hadis. Atas dasar pemikiran seperti tersebut, mereka mengatakan
bahwa penggunaan kitab hadis sebagai pedoman dalam islam didukung oleh
ayat-ayat Al Qur’an.
Benarkah
anggapan mereka tersebut? Untuk menjawabnya, penulis akan
membandingkannya dengan Al Qur’an terjemahan bahasa Inggris per kata versi Dr. Shehnaz Shaikh dan Ms. Kausar Khatri. Berikut ini adalah terjemahan ayat-ayat tersebut.
15:89. And say, “Indeed, I am a clear warner.”
46:9.
Say, “I am not the first of the Messengers nor do I know what will be
done with me or with you. I only follow that which is revealed to me,
and I am not but a clear warner.”
67:26. Say, “The knowledge is only with Allah, and I am only a clear warner.”
Dalam terjemahan versi bahasa Inggris tersebut, Nabi Muhammad adalah seorang pemberi peringatan yang jelas (a clear warner). Yang jelas di sini berarti yang nyata atau yang tidak perlu diragukan lagi. Jadi, Nabi Muhammad bukan pemberi peringatan yang menjelaskan melainkan pemberi peringatan yang jelas. Dengan demikian, terjemahan versi Dep. Agama RI adalah keliru sehingga tidak dapat dijadikan dasar penggunaan kitab hadis.
Hukum Rasul
Dalam terjemahan 4:61 versi Dep. Agama RI terdapat istilah hukum rasul.
Istilah terebut perlu dicek kebenarannya karena istilah ini
berimplikasi bahwa Rasul Allah diberi wewenang untuk membuat hukum dalam
islam. Selanjutnya, orang akan menganggap bahwa hukum rasul yang
dimaksud adalah berupa kitab hadis.
4:61. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.
Untuk mengecek kebenaran terjemahan di atas, Al Qur’an terjemahan bahasa Inggris per kata versi Dr. Shehnaz Shaikh dan Ms. Kausar Khatri digunakan. Hasilnya adalah sbb.
4:61.
And when it is said to them, “Come to what Allah has revealed and to
the Messenger,” you see the hypocrites turning away from you in
aversion. (Dan ketika dikatakan kepada mereka, “Mendekatlah ke yang
Allah telah wahyukan dan ke Rasul Allah,” kamu lihat orang-orang munafik
menghindar dari kamu dalam keengganan.)
Terjemahan
di atas menerangkan bahwa orang-orang munafik diminta untuk mendekat ke
wahyu Allah dan mendekat ke Rasul Allah tetapi orang-orang munafik
tersebut tidak bersedia dengan cara menghindari Rasul Allah dengan
perasaan tidak suka. Terjemahan versi bahasa Inggris tersebut
menunjukkan bahwa tidak ada istilah hukum rasul. Jadi, ayat 4:61 tidak dapat dijadikan dalil penggunaan kitab hadis.
PESAING AL QUR’AN
Mungkin
banyak yang tidak menyadari bahwa Al Qur’an mempunyai pesaing. Pesaing
utamanya adalah kitab hadis. Gara-gara kitab hadis, waktu yang
seharusnya disisihkan untuk mengaji Al Qur’an menjadi berkurang. Selain
itu, orang akan beranggapan bahwa mempelajari kitab hadis sama dengan
mempelajari Al Qur’an. Tidak sedikit ceramah agama islam yang lebih
banyak mengutip isi kitab hadis dibanding Al Qur’an. Bahkan, ada
sejumlah orang yang lebih percaya pada kitab hadis daripada Al Qur’an.
Contohnya, mereka percaya pada hadis yang mengatakan bahwa bacaan
basmalah dalam Al Fatihah bukan bagian dari Al Qur’an meskipun tertulis
dengan jelas bahwa bacaan basmalah merupakan ayat pertama Al Fatihah.
Secara tidak langsung, penulis hadis telah dijadikan pesaing Nabi
Muhammad.
Pesaing
kedua adalah para ahli agama yang cenderung tidak mendorong masyarakat
untuk mengaji Al Qur’an yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
Seolah-olah mereka mengatakan bahwa masyarakat cukup bertanya atau
belajar kepada mereka dan tidak perlu membaca Al Qur’an sendiri.
Seolah-olah mereka mengatakan bahwa Al Qur’an bukan bacaan sembarang
orang sehingga hanya mereka saja yang dapat menguasai Al Qur’an.
Seolah-olah mereka mengatakan bahwa bertanya kepada mereka sama saja
dengan membaca Al Qur’an. Bahkan, kadang-kadang ada yang mengeluarkan
fatwa yang hanya menjadi wewenang Allah. Kesan yang timbul dari
penampilan, sikap, dan cara menjawab adalah bahwa mereka seolah-olah
dapat dijadikan pengganti Al Qur’an. Mengapa masyarakat tidak didorong
untuk membaca Al Qur’an sendiri? Bukankah Allah telah memerintahkan
untuk membaca sejak ayat pertama diturunkan (96:1)?
96:1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
Di
samping itu, kita semua sudah mengetahui bahwa Allah tidak berkenan
jika disekutukan. Apakah orang tidak takut apabila Allah marah karena Al
Qur’an telah disaingi? Yang jelas, Allah tidak berkenan jika Al Qur’an
dianggap remeh (56:81).
56:81. Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al-Quran ini?
PENUTUP
Al
Qur’an adalah satu-satunya pedoman dalam agama yang dibawa Nabi
Muhammad. Masyarakat yang ingin mengetahui atau mempelajari islam harus
mempelajari satu kitab saja, yaitu Al Qur’an.
Langganan:
Postingan (Atom)